(Asy'ari Masduki, MA)
Perlu diketahui bahwa ayat-ayat dalam al Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ
"Dia-lah yang menurunkan al Kitab (al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"
1) Ayat Muhkamat adalah ayat al Qur’an yang dari sisi bahasa memiliki satu makna saja atau ayat yang telah diketahui dengan jelas makna dan maksudnya dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Di antara contoh ayat Muhkamat adalah firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S as Syura: 11)
Contoh lainnya adalah firman Allah ta’ala:
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya” (Q.S al Ikhlash:4)
2) Ayat Mutasyabihat, yaitu ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Contohnya adalah
a. Q.S Thaha:5, Allah berfirman:
(الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ)
[Surat Tha-Ha 5]
b. al Qashahs:88, Allah berfirman:
(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجههَ)
[Surat Al-Qashash 88]
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ اْلكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ اْلكُفْرِ
“Jagalah akidah kalian dari berpegang teguh dengan makna dzahir ayat dan sunnah yang mutasyabihat karena hal itu di antara sumber kekufuran”
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Metode takwil terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Metode Salaf, yaitu metode yang dipergunakan oleh mayoritas orang-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Metode mereka ini biasa disebut dengan takwil global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”.
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –radhiyallahu ‘anhu- :
ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah"
Maksud beliau adalah bukan makna yang sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
2. Metode Khalaf, yaitu metode yang digunakan oleh para ulama yang hidup setelah tiga abad pertama hijriyah. Metode ini disebut dengan takwil tafshiliy. Takwil Tafshiliy adalah mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci yakni dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka juga tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya.
Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam, demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
Namun perlu ditegaskan bahwa meskipun mayoritas ulama salaf menggunakan metode takwil ijmaliy dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, tetapi di antara mereka juga ada yang menggunakan takwil tafshiliy. Dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an disebutkan :
سُوْرَةُ الْقَصَصِ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ اهـ.
"Surat al Qashas: 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya".
Imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf, beliau mentakwil secara tafshili (terperinci) pada firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ
Beliau mengatakan: yakni datang kekuasaan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar